Dua Profesor Dapat Penghargaan Opera Batak

Written By Unknown on Sabtu, 24 Maret 2012 | 14.13





MEDAN–Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kembali memberikan penghargaan kepada pelestari Opera Batak. Kali ini penghargaan diberikan kepada dua guru besar yakni, Prof Robert Sibarani dan Prof Mauly Purba.

Pemberian gelar diberikan pada pementasan Opera Batak Mencari Sijonaha di Aula FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, Sabtu (24/3). “Kedua profesor tersebut termasuk tokoh yang mulamula terlibat dalam program revitalisasi Opera Batak,” ujar DirekturArtistik PLOt,Thompson HS. Menurut Thompson, revitalisasi Opera Batak dimulai pada 2002 saat Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) mencari kesenian Sumut yang penting dihidupkan kembali. Setelah melakukan penelitian Prof Robert dan (alm) Prof H Ahmad Samin Siregar selaku kolega ATL di Sumut kemudian mengusulkan Opera Batak dan Hoho (syair yang dilagukan) dari Nias.

Program revitalisasi Opera Batak melibatkan Mauly Purba (waktu itu belum profesor), Marsius Sitohang, Thompson HS, Guru M Simorangkir, dan Pdt Parulian Silitonga. Pusat kegiatan dilakukan di Tarutung, Tapanuli Utara didukung Bupati Taput saat itu RE Nainggolan. Dari hasil pelatihan berdiri sebuah grup percontohan bernama Grup Opera Silindung (GOS). Grup ini pernah melakukan pementasan keliling di Sumut dan Jakarta.Program revitalisasi ATL ini berlangsung selama tiga tahun. Tahun 2005 PLOt berdiri di Pematangsiantar sebagai kelanjutan program revitalisasi.

“Sesuai peran masingmasing bagi pelestarian Opera Batak,Prof Robert akan dianugerahi gelar Ompu Pande Panghihutan Tuan Panuturi Namangunghal Opera Batak. Sedangkan Prof Mauly mendapatkan gelar Ompu Pande Panggual Tuan Naboro Namangunghal Opera Batak,” ujar Thompson HS. PLOt sebelumnya memberi penghargaan sejenis kepada Alister Nainggolan (gelar Ompu Datu Panggual Tuan Banner Namangunghal Opera Batak), Zulkaidah Harahap (Nai Angkola Soripada Tuan Boru Siparungutungut Namangunghal Opera Batak), RE Nainggolan (Ompu Pande Pangonggomi Tuan Paniroi Namangunghal Opera Batak), dan Mateus Suwarsono (Ompu Datu Pinasindar Tuan Warso Namangunghal Opera Batak.

Sementara itu, Prof Mauly Purba mengatakan gelar yang diberikan merupakan satu kehormatan.“Itu merupakan kehormatan yang besar bagi saya, namun di satu sisi juga menjadi beban tapi bukan dalam artian negatif, melainkan dalam pemahaman positif. Dengan pemberian gelar itu tentu membuat saya akan semakin terpacu untuk berbuat lagi untuk kemajuan opera batak,” kata dia. Dia mengakui, sebenarnya apa yang dilakukannya belumlah pantas untuk mendapatkan gelar seperti itu.

“Namun, mungkin PLOt di sini lagi melakukan up grade nilai budaya, sehingga mereka memberikan gelar untuk orang-orang yang berkontribusi terhadap Opera Batak, meskipun kontribusinya kecil.Di luar sana saya yakin masih banyak yang lebih patut untuk menerima gelar seperti itu,” papar guru musik dan koor di Sekolah Tinggi Teologia GMI. Mauly menambahkan, kontribusi yang telah dilakukannya untuk Opera Batak ini diawali 10 tahun lalu.

Dia dan beberapa rekannya pernah membuat proram revitalisasi Opera Batak dan program itu mendapat persetujuan di Taput oleh bupatinya yang ketika itu dijabat RE Nainggolan. “Ketika itu, kami memberikan pemahaman konsep mendasar untuk orang-orang yang terpilih sebagai pelaku Opera Batak, dalam artian kami memberikan pelatihan dan membuat kegiatan seperti pementasan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dari situlah, kemudian berlanjutlah organisasi PLOt,” ujar Dosen HKBP Nommensen, Jurusan Bahasa dan Seni itu. Ke depan, kata Mauly, tentu saja gelar yang disandangnya itu akan semakin memacu dirinya untuk berbuat memajukan Opera Batak.

Untuk saat ini dia bersama dengan beberapa rekannya mencoba mengadopsi konsep Opera Batak dengan membentuk sanggar kecil untuk mengangkat nilai kearifan lokal. “Rencananya kami akan mendrama musikalkan sebuah cerita tentang kegesitan perempuan Batak Toba, dengan apa yang dikenal Anakkon hi do hamoraon di au. Rencananya, sanggar itu nanti bernama Paname asal kata dari same yang artinya bibit dalam bahasa Batak Toba, dan pana orang yang menabur bibit.

Jadi Paname itu adalah orang yang menabur bibit yang baik,” ujar Mauly yang juga mengajar di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 

sumber :seputar-indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda